Negara yang sehat adalah negara yang memiliki sistem ketatanegaraan yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berjalan dengan baik. Kekuasaan legislatif dan yudikatif berkaitan dengan pembentukan hukum dan undang-undang negara, sementara eksekutif berhubungan dengan penerapan hukum. Hubungan antar ketiganya tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai prinsip check and balances agar pengelolaan negara ini berjalan ke arah yang dicita-citakan. Pemisahan kekuasaan ini banyak dianut oleh negara demokrasi. Indonesia sendiri mengadopsi gagasan pemisahan kekuasaan yang dimodifikasi dari tiga fungsi menjadi sembilan fungsi pemegang kekuasaan konstitusional, yaitu MPR, DPR, Presiden, MA, BPK, MK, KY, DPD, dan KPU. Check and balances antar lembaga konstitusional tersebut merupakan syarat mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar demi mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara. Salah satu wujud check and balances dalam pertanggungjawaban pengelolaan negara adalah pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merupakan lembaga negara yang bebas dan mandiri.
LKPP merupakan bentuk pertanggungjawaban keuangan Pemerintah yang setidak-tidaknya terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Pemerintah telah menyusun laporan keuangannya sejak tahun 2004 atau satu tahun setelah berlakunya Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mewajibkan Pemerintah untuk menyusun laporan keuangan yang disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (yang baru ditetapkan tahun 2005 melalui Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2005), yang kemudian akan diaudit oleh BPK sebelum disampaikan kepada DPR.
Sejak tahun 2004 s.d 2007, LKPP selalu mendapat opini disclaimer dari BPK. Artinya, BPK tidak memberikan pendapat atau opini atas LKPP. Dalam dunia akuntansi, dikenal empat opini yang diberikan auditor, yaitu wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), wajar dengan pengecualian (qualified opinion), tidak memberikan pendapat (disclaimer), dan tidak wajar (adverse). Dengan demikian, pernyataan disclaimer atas LKPP itu tidak bisa diartikan bahwa laporan keuangan tersebut salah. Sebagaimana disampaikan oleh Ketua BPK Anwar Nasution, ada 7 (tujuh) alasan pokok pemberian opini disclaimer 2004 s.d 2007, yakni:
1. Terbatasnya akses BPK atas informasi penerimaan dan piutang pajak serta biaya perkara yang dipungut oleh Mahkamah Agung;
2. Kelemahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara, termasuk terbatasnya SDM pengelola keuangan di pusat dan daerah;
3. Belum tertibnya penempatan uang negara dan belum adanya single treasury account Pemerintah;
4. Tidak adanya inventarisasi aset serta utang maupun piutang negara;
5. Sistem Teknologi informasi yang kurang handal dan tidak terintegrasi;
6. Kelemahan sistem pengendalian intern pemerintah yang belum mampu melakukan review kebenaran laporan keuangan sebelum diperiksa BPK dan;
7. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait masih adanya penerimaan dan pengeluaran di luar mekanisme APBN.
Ketujuh hal tersebut tidak hanya menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk dapat memperbaiki laporan keuangannya, tetapi juga BPK untuk memberikan masukan yang berguna bagi perbaikan LKPP.
a. Terbatasnya akses BPK atas informasi penerimaan dan piutang pajak serta biaya perkara yang dipungut oleh Mahkamah Agung;
Karena adanya pembatasan Undang-Undang, BPK tidak dapat memeriksa penerimaan negara dari pajak dan memeriksa besarnya piutang pajak. Karena pembatasan itu, BPK tidak dapat memeriksa kepatuhan wajib pajak, penerapan dari sistem menghitung pajak sendiri, exemptions serta dedections perhitungan basis pajak. BPK juga tidak dapat memeriksa dari sektor ekonomi apa dan daerah mana pajak itu berasal serta kontribusi dari setiap lapis tarif pajak pada penerimaan negara. Dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemeriksaan BPK atas dokumen wajib pajak harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Dalam realita, ijin pemeriksaan dokumen wajib pajak dari Menteri Keuangan sulit diperoleh.
Pembatasan audit penerimaan dan piutang pajak mengakibatkan BPK tidak dapat melakukan pemeriksaan pajak sesuai standar pemeriksaan sehingga BPK RI tidak dapat memperoleh keyakinan yang memadai atas kewajaran penerimaan pajak dan piutang pajak. Selain itu penetapan target penerimaan Pajak menurut BPK tidak transparan.
Andai saja aturan di atas berjalan, dimana BPK dapat mengaudit penerimaan yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak apabila ada ijin dari Menteri Keuangan, maka BPK paling tidak “sedikit terobati” meskipun masih merasa ada pembatasan. Dari sisi Menteri Keuangan, kerahasiaan informasi pribadi membuat Wajib Pajak akan merasa nyaman dan aman untuk melaporkan pajaknya.
Atas UU KUP yang baru, BPK telah mengajukan judicial review kepada MK. Namun dalam keputusan No.3/PUU-VI/2008 tanggal 15 Mei 2008, MK menyatakan permohonan uji materi UU KUP yang diajukan BPK tidak dapat diterima. Hal ini merupakan kenyataan pahit bagi BPK, yang berarti transparansi perpajakan di negeri ini belum dapat dilakukan dengan baik.
Terkait dengan biaya perkara Mahkamah Agung, berdasarkan Herzein Indonesisch Reglemenl (HIR) atau Hukum Acara pada Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura, yang memungkinkan lembaga pengadilan memungut uang dari pihak ketiga dalam berperkara. Intinya, tergugat dituntut untuk membayar ongkos perkara, yaitu biaya yang dibutuhkan pengadilan dalam melaksanakan acara. Biaya perkara biasanya ditanggung oleh pihak yang kalah.
HIR ini masih dijadikan sebagai bagian dari Hukum Acara Perdata di Indonesia. Berdasar HIR yang bagi sebagian orang hanya dijadikan pedoman itu kemudian dituangkan melalui surat Ketua Mahkamah Agung tentang besarnya biaya perkara. Sifatnya memang merupakan titipan dari pihak berperkara dalam membiayai peradilannya, yang dikelola oleh lembaga peradilan, dan setelah digunakan dalam berperkara, dikembalikan lagi bila masih ada sisanya.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan bahwa dana masyarakat yang diterima institusi negara/pemerintah seperti itu sesungguhnya diklasifikasikan sebagai uang negara. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara menegaskan bahwa seluruh uang negara itu diperiksa oleh BPK. Berarti, “uang perkara” yang diterima dan dikelola MA itu menjadi objek pemeriksaan BPK.
Kisruh mengenai biaya perkara antara BPK dan MA telah ditengahi oleh Pemerintah dengan penerbitan PP No.53 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP Yang Berlaku Pada MA dan Badan Peradilan Yang Berada di Bawahnya. Pada Pasal 1 PP ini mengatur jenis biaya perkara di MA atas lima, yakni hak kepaniteraan MA, hak kepaniteraan Peradilan Umum, hak kepaniteraan Peradilan Agama, hak kepaniteraan Peradilan Tata Usaha Negara dan hak kepaniteraan lainnya. Pada penjelasan, PP ini merinci jumlah biaya perkara di masing-masing hak kepaniteraan tersebut. Biaya pendaftaran permohonan kasasi per perkara di MA, misalnya, ditetapkan sebesar Rp50 ribu, pendaftaran permohonan peninjauan kembali per perkara Rp200 ribu dan biaya pendaftaran permohonan hak uji materiil per perkara Rp50 ribu.
b. Kelemahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara, termasuk terbatasnya SDM pengelola keuangan di pusat dan daerah;
Kualitas SDM yang rendah atau tidak merata menyebabkan aset negara yang tak tercatat sehingga potensi kerugian sangat besar. Saat ini, aset negara yang sudah tercatat dalam neraca LKPP tahun 2007 mencapai Rp 1.600,2 triliun atau meningkat sekitar Rp 380 triliun dari angka Rp 1.219,96 triliun pada tahun 2006. Nilai aset itu dianggap belum menggambarkan seluruh kekayaan pemerintah karena banyak aset yang belum dinilai ulang.
Kebutuhan tenaga akuntan dalam mengelola pembukuan proyek dan program di lingkungan pemerintahan sudah sangat mendesak. Minimnya akuntan menyebabkan sebagian besar laporan keuangan di pemerintah tidak mampu memenuhi standar akuntansi pemerintah. Dampak dari pembukuan yang buruk itu sudah terasa. Sebagai contoh, ketika Menteri Pekerjaan Umum diminta menginventarisir proyek-proyek yang telah dibangun sejak tahun 1970-an, mereka bingung karena tidak ada catatannya. Mereka lupa jembatan dan bangunan yang sudah dibangun sendiri. Padahal, itu baru inventarisasi, belum revaluasi aset. Dirjen Kekayaan Negara baru sanggup menginventarisasi aset pemerintah pada tahun 2008 ini, sementara itu, untuk revaluasi aset, mereka belum dapat melakukannya.
Untuk menanggulanginya, maka pemerintah harus memenuhi tenaga akuntan yang cukup besar. Untuk itu, tenaga auditor yang ada di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP sebaiknya diperbantukan pada satuan-satuan kerja yang saat ini mengelola anggaran kementerian dan lembaga. Sementara, untuk fungsi pemeriksaan, sudah ada auditor pemerintah yang lain seperti Itjen dan Bawasda. Pemerintah sangat membutuhkan tenaga akuntan yang handal, profesional, menjunjung tinggi etika dan tidak mudah disogok. Maka diharapkan untuk perguruan tinggi negeri agar membuat sistem pendidikan yang memadai untuk mencetak tenaga akuntan seperti yang diharapkan.
c. Belum tertibnya penempatan uang negara dan belum adanya single treasury account Pemerintah;
Penertiban rekening pemerintah adalah hal yang mutlak untuk segera dilakukan. Departemen Keuangan (Depkeu) berkewajiban untuk melakukan investigasi terhadap ribuan rekening pemerintah di kementerian/lembaga (K/L) yang bernilai triliunan. Investigasi seharusnya dilakukan terhadap rekening-rekening yang menurut Tim Penertiban Rekening Pemerintah seharusnya tidak perlu dipertahankan lagi keberadaannya namun hingga saat ini masih ada karena tidak melihat adanya alasan lagi untuk dipertahankannya rekening itu seperti rekening bekas proyek-proyek lama tapi K/L yang bersangkutan belum mau menutupnya.
Sampai dengan akhir 2007, hasil penertiban mencakup pendataan, inventarisasi, dan pembahasan sebanyak 32.570 rekening dengan nilai nominal Rp36,76 triliun, 685,74 juta dolar AS, dan 462.398 Euro. Dari hasil pembahasan hingga 31 Desember 2007, terdapat kelompok rekening yang disetujui untuk digunakan secara permanen sebanyak 26.553 rekening senilai Rp19,25 triliun, 679,49 juta dolar AS dan 462.398 euro. Sementara rekening yang diputuskan untuk ditutup sebanyak 2.086 rekening senilai Rp7,28 triliun dan 5,85 juta dolar AS. Sementara pembahasan rekening yang tidak terselesaikan/terlaksana berjumlah 3.931 rekening senilai Rp10,23 triliun dan 391.449 dolar AS
d. Tidak adanya inventarisasi aset serta utang maupun piutang negara;
1) Sistem Pengendalian Aset
Dalam laporan keuangan kementrian/lembaga, BPK mendapati kurang tertibnya inventarisasi dan penilaian aset tetap pada 58 departemen/lembaga negara. Selain itu, persediaan dan daftar aset dari dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan ada yang belum dilaporkan atau kurang dicatat.
Piutang Pajak sebesar Rp42.042,10 miliar yang disajikan dalam LKPP Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, DJP tidak dapat memberikan/menunjukkan penjelasan/dokumen sumber penyajian data tentang nilai Piutang Pajak yang sedang diajukan keberatan/banding. Berdasarkan kondisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa DJP tidak mengetahui dengan pasti jumlah/nilai Piutang Pajak untuk kondisi per 31 Desember 2007 dan pengujian dokumen/data sumber penyajian nilai Piutang Pajak dalam laporan keuangan tidak dapat dilakukan kerena adanya pembatasan oleh DJP.
Nilai Penyertaan Modal Negara (PMN) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Minoritas masing-masing sebesar Rp455.367,88 miliar dan Rp3.239,56 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya. Laporan keuangan (Audited dan Unaudited) 74 BUMN tersebut belum dilampirkan dalam LKPP Tahun 2007 sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan bahwa LKPP yang diperiksa BPK harus dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan Negara dan badan lainnya.
Nilai Penyertaan Modal Pemerintah pada lembaga internasional tidak dapat diyakini kewajarannya. Laporan dari Pusat Kerjasama Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Departemen Keuangan, ternyata hanya mendasarkan pada laporan keuangan lembaga internasional yang bersangkutan tanpa didukung dengan dokumentasi transaksi dalam setiap setoran penyertaan yang dikonversikan ke dalam nilai rupiah dengan menggunakan kurs tengah BI per 31 Desember 2007. Pemeriksaan lebih lanjut dengan membandingkan laporan keuangan lembaga internasional dengan catatan yang diperoleh dari Pusat Kerjasama Internasional menunjukkan adanya selisih antara nilai penyertaan modal Pemerintah yang dilaporkan dalam LKPP Tahun 2007 dengan nilai yang tercantum dalam Laporan Keuangan Lembaga Internasional yang memiliki penyertaan modal Pemerintah sebesar USD92.11 juta atau Rp867,62 miliar.
Aset Lain-Lain berupa barang Sitaan, barang Bukti, dan barang Rampasan (SBR) di beberapa Kementerian Negara/Lembaga tidak dilaporkan dalam LKPP Tahun 2007. Saldo Aset Lain-Lain dalam LKPP Tahun 2007 sebesar Rp285.422,22 miliar masih belum memperhitungkan barang sitaan DJBC yang telah ditetapkan menjadi milik negara. Uji petik terhadap pengelolaan barang sitaan pada beberapa KPPBC diketahui masih terdapat barang sitaan yang sudah ditetapkan menjadi milik negara yang belum dilakukan penilaian dan belum dilaporkan dalam Neraca DJBC Tahun 2007. Kelemahan ini mengakibatkan:
a) Nilai Aset Lain-lain pada Neraca Pemerintah Pusat Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
b) Catatan Atas LKPP Tahun 2007 tidak mencerminkan pengungkapan penuh tentang pengelolaan barang SBR.
c) Penerimaan negara dari barang sitaan yang sudah in kracht namun belum dilelang berpotensi hilang.
2) Sistem Pengendalian atas Utang
Saldo Utang Luar Negeri dan Utang Bunga Utang Luar Negeri tidak dapat diyakini kewajarannya. Hasil pemeriksaan atas LKPP Tahun 2007 menunjukkan adanya selisih jumlah penarikan pinjaman luar negeri antara Laporan Keuangan BA 069 dengan LKPP sebesar Rp3.549,91 miliar. Hasil konfirmasi Tim pemeriksa BPK kepada 74 kreditor secara sampling berdasarkan nilai outstanding utang luar negeri yang dihasilkan SAUP, diperoleh selisih atas nilai outstanding utang luar negeri per 31 Desember 2007 antara hasil konfirmasi dengan data SAUP, yaitu selisih lebih sebesar Rp311,89 miliar, dan selisih kurang sebesar Rp8.532,98 miliar.
Langkah perbaikan yang sampai saat ini telah dilakukan oleh Dirjen kekayaan negara untuk mewujudkan good governance dan akuntabilitas yang baik dalam menjalankan amanat rakyat ialah :
1. Inventarisasi dan Revaluasi aset
Pengelolaan Barang milik negara (BMN) akan lebih disempurnakan lagi karena menurut BPK, 90% aset tetap milik pemerintah belum dikelola secara profesianal dan kekayaan negara belum terinventarisasi dengan baik dan memadai. Diproyeksikan untuk kedepannya akan terwujud database mengenai BMN yang akurat dan reliable, sehingga dapat dipergunakan bagi kepentingan penyusunan rencana kebutuhan dan penganggaran atas belanja barang dan/atau belanja modal pada kementerian/lembaga negara.
2. Penetapan piutang negara
Penetapan atas piutang negara telah dilakukan, DJKN telah mengeluarkan konfrensi pers dengan hasil sebagai berikut :
-
- Nilai Outstanding Piutang Negara per Februari 2008 adalah sebesar Rp40.389.981.840.000 dengan jumlah BKPN sebesar 171.829.
- Sebagian Obligor PKPS yang hutangnya telah diurus oleh PUPN
- untuk menyelesaikan ketidaksepakatan jumlah hutang para Obligor PKPS tersebut di atas, perlu penetapan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- Direktorat Piutang Negara sedang melakukan koordinasi dengan Kejaksaaan Agung, Mabes POLRI, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkumham untuk membuat aturan main/kesepakatan bersama tentang paksa badan (gijzeling) bagi para obligor yang tidak kooperatif dalam menyelesaikan kewajiban hutangnya.
e. Sistem Teknologi informasi yang kurang handal dan tidak terintegrasi;
Sistem akuntansi yang ditetapkan dan diselenggarakan pemerintah saat ini masih mengandung kelemahan – kelemahan signifikan, yaitu rekonsiliasi anggaran antara Departemen Keuangan dan kementrian negara/lembaga, belum berjalan efektif sehingga menimbulkan perbedaan angka yang tidak dapat ditelusuri kebenarannya. Sistem teknologi informasi yang digunakan sangat beragam, tetapi belum terintegrasi, belum kompatibel dan banyak kelemahan pengendalian. Juga masalah jumlah dan kualitas sumber daya manusia yang tersedia dalam rangka penyusunan laporan keuangan masih sangat terbatas, yaitu pada kementrian negara/lembaga, departemen teknis, kabupaten dan kotamadya.
Pemerintah hendaknya merancang sistem aplikasi komputer yang terintegrasi dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam era teknologi informasi, pemakaian komputer untuk pemprosesan informasi merupakan suatu keharusan karena teknologi komputer akan memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut ini ( Wilkinson, 2000 )
1. Pemprosesan terhadap transaksi dan data lain menjadi lebih cepat.
2. Durasi di dalam penghitungan dan perbandingan data menjadi lebih akurat;
3. Pemprosesan terhadap transaksi menjadi lebih murah;
4. Penyiapan leporan dan output lainnya menjadi lebih tepat waktu;
5. Sistem penyimpanan data menjadi lebih ringkas dan lebih mudah ketika dibutuhkan;
6. Karyawan menjadi lebih produktif;
f. Kelemahan sistem pengendalian intern pemerintah yang belum mampu melakukan review kebenaran laporan keuangan sebelum diperiksa BPK;
Setiap tahun pemerintah melakukan perbaikan berdasarkan rekomendasi dari BPK meskipun secara agregat belum mampu mengubah opini disclaimer di tahun berikutnya. Berbagai bentuk perbaikan yang telah selesai dilakukan maupun yang masih berstatus “in progress” memang sangat menjanjikan . Namun terdapat satu hal yang sangat prinsip dan sebenarnya perlu mendapat skala prioritas yang maksimum dari pemerintah yaitu pembenahan Internal control di lingkungan instansi pemerintah. Faktor internal control merupakan “fundamental keyword” dalam membentuk suatu opini audit. Dalam tahapan audit yang selalu dilakukan – termasuk oleh BPK – analisis terhadap internal control merupakan pintu gerbang menuju tahapan audit berikutnya. Adanya sinyal negatif dari internal control suatu auditee akan mengarahkan sikap skeptis auditor yang akhirnya memunculkan opini disclaimer.
Departemen keuangan selaku “conducter and central server” pemerintah dalam pengelolaan keuangan untuk selanjutnya menyusun LKPP tentunya harus menjadi pioneer dan teladan dalam hal internal control. Kesan ini telah diwujudkan melalui Kepmenkeu No.465/KMK.05/2005 tanggal 29 September 2005 tentang Pedoman Strategi dan Kebijakan departemen Keuangan (lebih dikenal sebagai Road-map Depkeu). Keputusan tersebut mengamanatkan kepada setiap jajaran Eselon I di Lingkungan Depkeu untuk menerapkan prinsip Manajemen resiko serta penegasan fungsi Inspektorat jenderal sebagai compliance office terhadap pelaksanaan fungsi departemen. Bukti konkrit dari road map tersebut sudah terlihat pada pelaksanaan reformasi birokrasi di beberapa direktorat Depkeu.
Berbicara mengenai manajemen resiko tentu kita akan teringat akan Model internal control menurut COSO yang sebenarnya merupakan referensi utama pemerintah dalam menyusun Peraturan Pemerintah tentang SPI. Sistem Pengawasan Internal merupakan amanat dari UU No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan pasal 58 yang mewajibkan adanya SPI di lingkungan Instansi pemerintah.
Perkembangan peranan pengawasan internal (internal control) terkini menggunakan kerangka COSO (COSO Framework). Kerangka ini memandang internal control sebagai sebuah proses, dan dirancang untuk memberikan keyakinan tentang efektivitas dan efisiensi dari operasi, keandalan informasi atau pelaporan keuangan, dan ketaatan pada peraturan dan ketentuan yang berlaku. COSO Framework terdiri dari 5 komponen yang saling terkait, yaitu control environment, risk assessment, control activities, information and communications, dan ongoing monitoring.
g. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait masih adanya penerimaan dan pengeluaran di luar mekanisme APBN.
Ada beberapa faktor yang mendasari pernyataan tersebut, diantaranya sebagai berikut.
- Penerimaan hibah tidak seluruhnya dilaporkan dalam LKPP dan digunakan langsung oleh lembaga penerima.
BPK menyatakan adanya realisasi dana hibah dari dua belas kementerian/lembaga sebesar Rp 1.337 miliar yang tidak dicatat dalam LKPP 2007 sehingga mengakibatkan penerimaan dan penggunaan dana hibah baik berupa uang maupun aset minimal senilai Rp1.337 miliar tidak dipertanggungjawabkan dan penyajian Penerimaan Hibah sebesar Rp1.697 miliar dalam Laporan Realisasi APBN LKPP Tahun 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya. Namun, menjadi begitu naif ketika ternyata terdapat dana hibah sebesar 2,8 juta dollar Australia yang diterima BPK sejak tahun 2006 tapi realisasinya tidak dilaporkan dengan alasan kesulitan dalam penilaian karena hibah tersebut berupa pelatihan, software komputer atau lainnya yang tidak berbentuk uang. Padahal setiap penerimaan hibah, berbentuk barang sekalipun, tetap harus dinilai dan dibukukan untuk laporan ralisasi.
- Rekening pemerintah yang masih “liar”
Rekening dana non budgeter yang belum tuntas diselesaikan menjadi sarana keleluasaan aliran dana di luar mekanisme APBN. Betapa tidak, Hasil pemeriksaan BPK atas Rekening-rekening Pemerintah Lainnya (RPL) menunjukkan bahwa masih ada 25 RPL di BI dengan saldo sebesar Rp1.468 miliar untuk 24 rekening dan satu rekening bersaldo Rp0,00 yang sudah lebih dari dua tahun tidak ada mutasi transaksi. Informasi lain mengenai dasar hukum, tujuan pembukaan rekening, jenis rekening, sumber dana, dan pejabat yang melakukan pembukaan rekening tidak dapat dijelaskan. Sedangkan di sisi pengeluaran, pemeriksaan atas Rekening Pemerintah Lainnya di Bank Indonesia menunjukkan adanya pengeluaran di luar mekanisme APBN sebesar Rp8.491 miliar yang terdiri dari:
a) Pembayaran fee sebesar Rp 61,3 miliar kepada bank penata usaha penerimaan piutang dan penyaluran pinjaman Rekening Dana Investasi.
b) Pembayaran Proyek Pasar Sentral Watampone Kabupaten Bone sebesar Rp 24,27 miliar yang dikeluarkan langsung dari Rekening Pemerintah Daerah.
c) Pemindahbukuan annual fee PT Inalum tahun 2006 sebesar Rp 73,02 miliar.
d) Pembayaran kembali PPN dan PBB Panas Bumi sebesar Rp 107,13 miliar.
e) Pembayaran Reimbursement PPN kepada para Kontraktor untuk KPS sebesar Rp4.183,86 miliar.
f) Pembayaran fee kepada KKKS Migas atas penyerahan sejumlah minyak bumi dan atau gas bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar Rp 3.219,57 miliar.
g) Pembayaran Dana Cadangan Operasional BP Migas sebesar Rp 567,53 miliar.
h) Pembayaran under lifting oleh Pemerintah kepada KKKS sebesar Rp 254,44 miliar. Kondisi tersebut mengakibatkan pengeluaran RPL di BI sebesar Rp8.491,12 miliar tidak dapat dipertanggungjawabkan.
- Adanya lembaga semi privat-publik yang berlindung di bawah instansi pemerintah
Hampir semua lini instansi pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah, sipil maupun militer, termasuk kalangan pendidikan sekalipun, memiliki sejumlah yayasan yang tidak begitu jelas asal-usul kekayaan dan status kepemilikannya. Tidak jarang pula mereka menggunakan fasilitas milik Negara dalam memperoleh pendapatan dan sebaliknya menjadikan yayasan tersebut sebagai objek dari pelaksanaan sebuah program instansi yang menaunginya agar dana yang dikucurkan mengalir kepada orang internal. Namun, konsekuensinya dana yayasan, perusahaan atau koperasi ini tentu turut dipakai oleh pemerintah untuk membiayai sejumlah kegiatan publik di luar pengawasan DPR dan masyarakat. Di lingkungan militer, hanya sekitar 20-30 % biaya operasional militer yang dibiayai dana APBN. Selebihnya dibiayai oleh dana-dana yang berasal dari dana non-neraca, koperasi, yayasan, dan perusahaan yang terdapat dalam lingkungan militer. hal paling menyedihkan bahwa keberadaan yayasan, perusahaan, atau koperasi tersebut selama ini menjadi sarana modus pengalihan kekayaan publik menjadi kekayaan privat.
- Penerimaan migas tidak disetor langsung ke kas Negara.
Terdapat realisasi penerimaan dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebesar USD11.680.514.651 atau senilai Rp106.931 miliar tidak disetor langsung sesuai mekanisme APBN yang seharusnya menjadi bagian dari item PNBP migas. Kondisi tersebut mengakibatkan realisasi penerimaan negara dari migas yang dikelola melalui KKKS tahun 2007 dicatat terlalu rendah.
- PNBP tanpa dasar hukum
Pungutan pada sebelas Kementerian Negara/Lembaga minimal senilai Rp 286,41 miliar tidak ada dasar hukumnya dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN. Permasalahan tersebut mengakibatkan pengelolaan atas penerimaan negara pada kementerian negara/lembaga minimal sebesar Rp286,41 miliar tidak transparan dan akuntabel, serta tidak dipertanggungjawabkan.
Dari beberapa hal di atas dapat kita simpulkan bahwa ternyata pengeluaran publik belum mampu tercover sepenuhnya oleh mekanisme APBN. Hal tersebut juga menjadi bukti lemahnya pengawasan dalam pengelolaan keuangan negara. Pemerintah harus segera memangkas aliran dana pengeluaran publik di luar mekanisme APBN karena hal tersebut cukup berisiko mempengaruhi kinerja pemerintah dalam mengatur perekonomian.
Dari hal-hal di atas, diperlukan langkah-langkah perbaikan/saran agar LKPP berjalan ke arah yang diharapkan, yakni:
a. Penyamaan persepsi antara BPK dengan Menteri Keuangan sebagai penyusun LKPP maupun seluruh instansi pemerintah pada umumnya, terkait peraturan-peraturan dalam praktik akuntansi pengelolaan APBN. Salah satunya penerapan asas bruto oleh bPK dan asas netto oleh Depkeu dalam penghitungan PNBP dan Bagi hasil Migas yang begitu menyolok.
b. Tertibkan segera rekening “liar” yang dimiliki departemen atau oleh pejabat atas nama departemen serta wujudkan Treasury Single Account segera. Hal ini sangat berguna untuk menghilangkan sarana aliran dana publik di luar mekanisme APBN dan memudahkan pengawasan serta menghilangkan Iddle money uang negara.
c. Buat garis batas yang tegas antara yayasan, perusahaan, atau koperasi di lingkungan instansi pemerintah dengan instansi pelindungnya, terutama dalam hal pengelolaan aset dan keuangan.
d. Penilaian dan pencatatan penerimaan hibah secara transparan oleh setiap instansi penerima, pemerintah atau BPK sekalipun, baik berupa uang maupun bukan uang.
e. Perketat pengawasan terhadap Kementerian /Lembaga yang sewenang-wenang menarik PNBP tanpa dasar hukum yang benar.
Meskipun LKPP masih belum sempurna, kita patut berbangga hati karena proses mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan transparan secara bertahap telah berjalan. Kelemahan dan kekurangan yang masih terjadi, bukan karena pihak Pemerintah tidak memberi perhatian, namun hal demikian terjadi semata-mata karena diperlukan waktu untuk menyempurnakannya. Yang terpenting, baik BPK maupun Pemerintah harus mampu menunjukkan kerja sama dan kinerja ke arah yang lebih baik. Pemerintah harus terbuka menerima kritik dan saran BPK, dan BPK pun harus pula memberi pengakuan terhadap kemajuan-kemajuan yang telah dilakukan Pemerintah. Dengan demikian, perlahan tapi pasti, LKPP tidak akan disclaimer lagi.
Oleh karena itu, di samping saran di atas, diperlukan rencana aksi secara menyeluruh oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mempercepat perbaikan sistem keuangan negara guna memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (unqualified). Rencana aksi itu seharusnya mencakup kebijakan perbaikan dengan jadwal waktu tertentu, meliputi sistem akuntansi dan pelaporan keuangan, dan sistem teknologi informasi. Selain itu, inventarisasi aset tetap, utang dan piutang, serta peningkatan kualitas pengawas keuangan negara/daerah dan BUMN/BUMD.